Dari dulu gw selalu bermimpi pernikahan gw akan bertema tradisional, bukan nasional, apalagi internasional. Buat gw, pernikahan yang sarat akan adat itu lebih sakral. Gw suka banget ngeliat suasana waktu pengantinnya menjalankan semua prosesi adatnya. Kalau ngebahas tentang adat apa yang akan gw pakai, pasti semua orang bilang “Padang ya?”. Ini nih yang namanya karena Padang setitik rusak suku sebelangga. Hehehe. Jadi karena Nenek itu anak perempuan satu-satunya, Mama juga anak perempuan satu-satunya, dan gw juga anak perempuan satu-satunya, jadilah gw satu-satunya keturunan yang menurut adat benar-benar berdarah Padang. Padahal Nenek menikah dengan Kakek yang orang Aceh, Mama juga menikah dengan Papa yang jawa bangeeet. Jadilah kalau dihitung-hitung prosentase ke-suku-an gw itu 50% Jawa, 25% Padang, dan 25% Aceh. Itu kalau komposisi adonannya pas lho yaah.
Anyway, dari dulu gw ga pernah
bermimpi untuk menikah dengan adat Padang. Waktu gw berumur 19 tahun (kalau ga
salah), gw pernah pulang kampuang untuk menghadiri acara penobatan gelar untuk Om Azis (anak kedua dari Nenek dan Kakek). Om gw diberikan gelar oleh tetua-tetua di Padang, kalau ga salah
gelarnya “Datuk Kabasaran Ameh” yang artinya Datuk yang punya emas melimpah
(alias kaya raya). Waktu itu diadain acara besar-besaran di kampuang nan jauah
dimato. Yang paling gw inget itu tante gw sebagai pendamping mengenakan pakaian adat lengkap suntiang setinggi 50 cm kali
yah (atau gw terlalu lebai mendeskripsikannya) dan dia mengaku kepalanya pusing sepanjang acara. Sejak saat itu persepsi gw
tentang suntiang itu berat dan pusing.
Semakin kesini, suntiang-suntiang itu dikemas dengan cantik. Liat saja tren rias minang modern ala artis-artis berikut:
I think using suntiang is not that bad. :)) Tapi teteup yaah, I don't know why, gw udah terlanjur jatuh cinta sama yang namanya adat jawa dengan Paes-nya yang seperti ini:
Look, how gorgeous she is!
Naaah, sekarang-sekarang ini gw baru tahu kalau Paes macam ini namanya Paes Ageng Yogya. Terus gw langsung mikir si Papa itu kan keturunan Solo kalau ga salah, jadi gw ga ada Yogya-nya sama sekali. Pas kepikiran ini langsung deh gw confirm ke Fajar tentang masalah ke-Yogya-an ini dan (oh no!) Fajar ga ada Yogya-nya sama sekali, malah cenderung ke Solo juga. Langsung deh gw ngebayangin kalau gw bakal dirias dengan Paes Solo Putri seperti ini:
Kenapa gw ga mauuu? Seteleah gw liat-liat, ternyata masalah sanggul dan lukisan di dahi. Di pinggir lukisan di dahi ala Paes Ageng Yogya diberi prada berwarna emas yang akan memberi kesan mewah, lukisannya juga berbentuk runcing-runcing yang akan memberi kesan tirus. Sedangkan kalau Paes Solo Putri ga pakai prada dan sanggulnya juga agak melebar, mungkin itu yang membuat gw agak kurang sreg. Ya iyalah, mau sekurus apapun gw... Ini pipi gw tetep aja melebar, masa gw dirias dengan model yang horizontal-sentris yang akan membuat muka terlihat melebar, bisa-bisa nanti gw terlihat tambah chubby. Tapi setelah gw minta pendapat ke berbagai orang dan minta dukungan Fajar, kayanya ga masalah juga mau pakai Paes Ageng Yogya walaupun ga ada darah Yogya sama sekali yang penting kan sama-sama Jawa, sama-sama Indonesia juga. *pembelaan diri* Lagipula kalau ga boleh pakai Paes Ageng Yogya, mendingan gw disuruh pakai Suntiang daripada disuruh pakai Paes Solo Putri. Pokoknya kalau ga boleh pakai Paes Ageng Yogya, calon pengantin wanitanya bakal ngambek beraaat. :p *ini sih ngancem*
Naaah... Mari kita lanjut ke bagian dari penting dari tema (selain adat), yaitu warna. Untuuung, Kang Mas punya kekasih yang lucu nan pengertian macem gw. Buat gw, warna itu ga harus saklek. Biasanya kan warna yang digunakan sebagai tema acara itu disesuaikan dengan kebaya resepsi yang akan digunakan oleh pengantinnya, dari awal sih gw dan Fajar sudah sepakat kalau warnanya akan ditentukan setelah menemukan kebaya yang cocok jadi kita ga cuma terpaku sama satu warna saja. Bisa aja gw yang memang ga terlalu suka warna hijau ternyata menemukan kebaya hijau yang cocok banget sama gw dan akhirnya kami berdua pakai tema hijau. Daripada menentukan satu warna saja, misalnya emas, tahu-tahunya ga nemu kebaya emas yang cocok dan akhirnya calon pengantin (khususnya calon pengantin wanita) jadi gaul... Eh, galauuuu! Dalam pemilihan warna, gw juga ga mau memilih warna yang terlalu feminine, I couldn't imagine my-galak-future-husband wearing pink, or light purple, or baby blue beskap. Big NO! Even I love pink so much! *mencoba berempati terhadap perasaannya para lelaki*
Akhirnya kami sudah menemukan kebaya yang cantiiik untuk calon pengantin wanita yang cantik dengan beskap senada yang membuat calon pengantin prianya tampak gagah. And the color (maybe) gonna be red and gold. Yes, Javanese bride and groom in red and gold. :))